Kajian Kritik Ma’anil Hadits (siwak)

SIWAK
Kajian Kritik Ma’anil Hadits (edisi revisi)
Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Ilmu Ma’anil Hadits
Dosen Pengampu: Drs. Indal Abror, M. Ag
Oleh:
Faiqoh (09532022)                              Sihafudin Azhar (09532041)
Muhammad Aswar (09532029)          Sukri Gzozali (09532042)
Muhammad Munir (09532032)           Yuyun Yunita Nurazizah (09532045)
Najib Irsyadi (09532035)                    Trisna Hafifudin (09532046)
Nunung Lasmana (09532037)                        Hulaimi Al-Amin (09532048)
Rabiatul Adawiyah (09532039)         Kusminah (09532025)

JURUSAN TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Islam merupakan ajaran yang bersifat universal. Pesan moral yang terkandung menjadi ­rahmat lil ‘alami, menembus dimensi ruang dan waktu. Inti dari sumber Islam hanya dua, al-Qur’an dan al-Hadis. Al-Qur’an sebagai wahyu mutlak yang datang dari Allah swt. yang lebih bersifat global, sedangkan al-Hadis (al-Sunnah) yang timbul dari segala aktivitas Nabi saw. merupakan aplikasi dari titah Tuhan, baik itu bersifat vertikal maupun horizontal (ibadah mahdhah wa ghairu mahdhah).
Berbicara tentang al-Hadis, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa ia telah disampaikan dan diamalkan sejak masa Nabi saw. dan para sahabat. Aktivitas memahami suatu hadis sesungguhnya sudah muncul sejak kehadiran Nabi saw., terutama sejak beliau diangkat menjadi rasul, yang kemudian dijadikan panutan (uswatun hasanah) oleh para sahabat. Dengan kemahiran bahasa Arab yang dimiliki para sahabat dan intensitas pergaulan mereka dengan Nabi saw., secara umum mereka bisa langsung menangkap maksud dari sabda-sabda yang beliau sampaikan.
Problem memahami hadis muncul semakin kompleks ketika Islam mulai tersebar di berbagai daerah non Arab. Mereka yang tidak mengetahui dengan baik tentang uslub al-lughah al-‘arabiyyah (sistematika bahasa Arab) yang dipakai Nabi saw. jelas akan menemui kesulitan dalam memahami sebagian hadis-hadis Nabi saw. Belum lagi paradigma dan asumsi dasar yang dipakai dalam memandang sosok Nabi saw. Demikian juga halnya dengan konteks zaman Nabi saw. yang sudah jauh berbeda dengan era sekarang, sehingga kadang menyebabkan redaksi hadis kurang komunikatif dengan konteks kekinian. Semua itu tentu akan menambah masalah dalam pemahaman hadis Nabi saw.
Mengingat pentingnya suatu kajian bagaimana memahami hadis Nabi saw. dengan tepat, diperlukan adanya pembahasan tentang ma’anil hadis. Dalam pembahasan makalah ini, kelompok kami akan sedikit memaparkan dan menjelaskan studi ma’anil hadis berkaitan dengan tema-tema kesehatan dan kebersihan. Agar tidak terlalu panjang, pembahasan hanya kami fokuskan tentang masalah “siwak”.
Setiap individu dan suatu komunitas pasti merindukan kesehatan, kebersihan dan keindahan. Semuanya berusaha ingin mewujudkannya, bersih rohani dan jasmani. Sarana dan prasarana yang digunakan boleh jadi bermacam-macam, akan tetapi tujuan yang dicapai sama persis.
Dalam kaitannya dengan siwak, pada zaman dulu Nabi saw ingin mengajarkan kepada para sahabat supaya memperhatikan anggota-anggota tubuh, termasuk gigi. Karena Nabi saw. mengerti betul arti sebuah kebersihan, disamping ganjaran yang diperoleh orang yang selalu menjaga kebersihan. Salah satu alat atau media pembersih yang banyak digunakan adalah kayu siwak, yang setelah diteliti banyak mengandung zat-zat pembersih untuk gigi dan mulut. Dari sini timbul problem, kalau dahulu media yang dipakai adalah siwak, bagaimana dengan era sekarang yang segala sesuatu sudah bersifat modern. Media pembersih yang dipakai tidak lagi siwak, tetapi sudah digantikan dengan sikat dan pasta gigi, yang mungkin lebih praktis dan mudah digunakan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini kami berusaha menjelaskan hadis-hadis tentang siwak dan hubungannya dengan konteks kekinian. Harapan kita semua, semoga hasil kajian ini dapat menambah pemahaman kita terhadap hadis-hadis Nabi saw. serta menambah wawasan keilmuan islam kita. Selamat membaca!

B.     Rumusan Masalah
Dari hadits yang akan dipaparkan di bagian pembahasan akan timbul beberapa rumusan masalah, yaitu sebagai berikut
1.      Apa pengertian siwak?
2.      Sejak kapan siwak mulai digunakan sebagai alat pembersih mulut?
3.      Mengapa siwak dipiih sebagai media untuk membersihkan mulut?
4.      Apakah pemakaian siwak masih relevan untuk masa sekarang?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teks Hadits tentang Siwak
Islam merupakan agama yang sangat mementingkan kesehatan. Ini terbukti ketika banyak ditemukan ayat maupun hadits yang menyinggung tentang kesehatan tersebut. Rasulullah yang merupakan penyampai risalah selalu mengaplikasikan kebersihan ini dalam kehidupan keseharian beliau, misalnya dalam hal kebersihan mulut beliau sangat gemar bersiwak dan juga menganjurkan kepada para sahabat untuk mengikuti kegemaran beliau tersebut. Dalam kitab Shahih Bukhari, kitab al-Jumu’ah bab al-Siwaak yaum al-Jumu’ah no. 838 disebutkan hadits tentang anjuran Rasulullah kepada para sahabatnya untuk bersiwak, terutama ketika ingin melakukan shalat

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ.

Artinya:
Dari Abu Hurairah r.a sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Seandainya tidak memberatkan kepada umatku atau orang-orang aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak di setiap shalat.


B.     Analisis Hadits
1.      Takhrij Hadits
Langkah pertama yang lakukan penulis untuk menemukan hadits di atas adalah melakukan takhrij hadits dengan metode al-bahts al-sharfi dengan kata kunci al-siwaak. Hasil dari takhrij hadits tersebut adalah sebagai berikut:
No
Sumber
Kitab
Bab
No. Hadits
1.
Shahih Bukhari
التمني
ما يجوز من اللو
6699
2.
Shahih Muslim
الطهارة
السواك
370
3.
Sunan al-Tirmidzi
الطهارة عن رسول الله
ما جاء في السواك
22
4.
Sunan al-Nasai
الطهارة
الرخصة في السواك للصائم
7
5.
Sunan Abu Daud
الطهارة
السواك
42
6.
Sunan Ibn Majah
الهارة و سننها
السواك
283
7.
Musnad Ahmad
باقي مسند المكثرون
مسند أبو هريرة
7037, 7105, 7516
الباقي المسند السابق
8814, 8827, 9181, 9220, 9548, 10209, 10278, 10448
8.
Muwaththa’ Malik
الطهارة
ما جاء في السواك
132, 133
9.
Sunan al-Darimi
الطهارة
السواك
680

Selain dengan al-bahts al-sharfi, penulis juga mencoba melakukan takhrij hadits dengan metode bil maudhu’ dengan kata kunci al-siwak penulis menemukan beberapa hadits setema, di antaranya adalah
a.       Shahih Bukhari, kitab al-Wudhu, bab al-Siwaak, no. 238
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ

b.      Sunan Abu Daud, kitab al-Tharah, bab Kaifiyaat yastaaku, no. 45
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ وَسُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ غَيْلَانَ بْنِ جَرِيرٍ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ مُسَدَّدٌ قَالَ أَتَيْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَسْتَحْمِلُهُ فَرَأَيْتُهُ يَسْتَاكُ عَلَى لِسَانِهِ قَالَ أَبُو دَاوُد وَقَالَ سُلَيْمَانُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَسْتَاكُ وَقَدْ وَضَعَ السِّوَاكَ عَلَى طَرَفِ لِسَانِهِ وَهُوَ يَقُولُ إِهْ إِهْ يَعْنِي يَتَهَوَّعُ قَالَ أَبُو دَاوُد قَالَ مُسَدَّدٌ فَكَانَ حَدِيثًا طَوِيلًا وَلَكِنِّي اخْتَصَرْتُهُ

c.       Sunan Abu Daud, kitab al-Shaum, bab al-Siwaak li al-Shaaim, no. 2017
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا شَرِيكٌ ح و حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَاكُ وَهُوَ صَائِمٌ زَادَ مُسَدَّدٌ مَا لَا أَعُدُّ وَلَا أُحْصِي

d.      Sunan al-Nasaai, kitab al-Thaharah, bab al-Targhiib fi al-Siwaak, no. 5
أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ يَزِيدَ وَهُوَ ابْنُ زُرَيْعٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي عَتِيقٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

Jika kita lihat hadits di atas, maka dapat disimpulkan hadits di atas sangat terkenal. Semua pemilik al-Kutub al-Tis’ah mencantumkannya dalam kitab hadits mereka. Hadits tersebut bersumber dari dua sahabat, Abu Hurairah dan Zaid Ibn Khalid. Status di atas semuanya maqbul dan bersambung ke Rasulullah walaupun derajatnya berbeda-beda, tapi kita tidak boleh langsung mempercayai sebuah berita tanpa membuktikan statusnya terlebih dahulu.

2.      Analisis Sanad
Untuk membuktikan kemaqbulan hadits di atas, penulis mencoba meneliti kualitas hadits di atas ditinjau dari segi perawi. Sanad yang penulis teliti adalah hadits dalam shahih Bukhari no. 838 dengan daftar perawi sebagai berikut:
a.      Abu Hurairah
Nama                           : Abdurrahman Ibn Shakhar
Thabaqah                     : Shahabat
Nasab                          : Al-Duusi, Al-Yamaani
Kunyah                       : Abu Hurairah
Tempat lahir                : Madinah
Wafat                          : 57 H di Madinah
  Guru                          : Ubai Ibn Ka’b, Usamah Ibn Zaid, Bashrah Ibn Abu   Bashrah, dan lain-lain
                          Murid                         : Ibrahim Ibn Ismail, Abu ‘Alqamah, Abdurrahman Ibn Hurmuz
Qaul tentangnya        : Ashdaq al-Naas
b.      Al-A’raj                     
Nama                                      : Abdurrahman Ibn Hurmuz
Thabaqah                     : al-Wusthaa min al-Tabi’in
Nasab                          : Al-Madani
Kunyah                       : Abu Daud
Laqab                          : Al-A’raj
Tempat lahir                : Madinah
Wafat                          : 117 H H di Iskandariyah
                        Guru                            : Aisyah Bint Abu Bakr, Abdurrahman Ibn Shakhar, Abdullah Ibn Ka’b Ibn Malik, dan lain-lain
                          Murid                         : Ja’far Ibn Hayyan, Daud Ibn Al-Hushain, Abdullah Ibn Dzakwaan Abu Al-Zinaad, dan lain-lain
Qaul tentangnya          : Tsiqah hafizh
c.       Abu al-Zinaad
Nama                           : Abdullah Ibn Dzakwaan Abu al-Zinaad
Thabaqah                     : al-Shughraa min al-Tabi’in
Nasab                          : Al-Qurasyi
Kunyah                       : Abu Abd al-Rahmaan
Laqab                          : Abu al-Zinaad
Tempat lahir                : Madinah
Wafat                          : 130 H di Madinah
                          Guru                          : Hanzhalah Ibn Alin Ibn al-Asqa’, Kharijah Ibn Zaid Ibn Tsabit, Abdurrahman Ibn Hurmuz, dan lain-lain
                          Murid                         : Ibrahim Ibn ‘Uqbah Ibn ‘Iyash, Malik Ibn Anas, Muhammad Ib Ishaq Ibn Yasar, dan lain-lain
Qaul  tentangnya         : Tsiqah
d.      Malik
Nama                           : Malik Ibn Anas Ibn Abu ‘Amir
Thabaqah                     : kubbaar al-Atbaa’
Nasab                          : Al-Ashbahi, Al-Humairi
Kunyah                       : Abu Abdullah
Tempat lahir                : Madinah
Wafat                          : 179 di Madinah
                          Guru                          : Salamah Ibn Dinar, Shafwan Ibn Salim, Abdullah Ibn Dzakwan Abu al-Zinaad, dan lain-lain
                          Murid                         : Ibrahim Ibn Thahman Ibn Syu’bah, Ishaq Ibn Sulaiman, Abdullah Ibn Yusuf, dan lain-lain
Qaul tentangnya          : tsiqah Hafizh
e.       Abdullah Ibn Yusuf
Nama                           : Abdullah Ibn Yusuf
Thabaqah                     : kubbar tab’I al-Atbaa’
Nasab                          : Al-Tunisi, Al-Kula’i
Kunyah                       : Abu Muhammad
Tempat lahir                : Muru
Wafat                          : 218 H di Muru
                          Guru                          : Malik Ibn Anas, Al-Walid Ibn Muslim, Yahya Ibn Hamzah Ibn Waqi, dan lain-lain
                          Murid                         : Ishaq Ibn Manshur, Amar Ibn Manshur, Muhammad Ibn Ishaq Ibn ja’far, dan lain lain
Qaul tentangnya          : Tsiqah hafizh

Jika kita perhatikan data-data dari biografi rawi hadits di atas dapat disimpulkan beberapa hal:

·         Ketersambungan Sanad
Melihat rentetan rawi-rawi di atas, dapat dipastikan semua rawi di atas pernah hidup semasa dan betemu. Ini bisa dibuktikan ketika mencek nama-nama guru dari masing-masing rawi.
·         Kualitas Rawi
Mengenai penilaian kualitas rawi, penulis mengambil pendapat Ibn Hajar al-Asqalany. Tidak ada satu rawipun yang dijarah Ibn Hajar. Semua rawi beliau ta’dil. Begitu juga jika mengambil pendapat ahli Jarh wa Ta’dil yang lain, pendapat mereka sama dengan Ibn Hajar al-Asqalani.
·         Shighat al-Tahammul Wa al-Ada’
Shighat al-Tahammul Wa al-Ada’ dari hadits pokok di atas adalah akhbarana, haddatsana, dan ‘an’anah. Mayoritas ulama hadits menganggap shighat akhbarana, haddatsana sebagai shigat yang menunjukkan ketersambungan sanad, sedangkan shighat ‘an’anah masih diragukan, tapi perlu diperhatikan hadits utama diambil dari kitab Shahih Bukhari. Menurut mayoritas ulama sighat ‘an’anah dalam kitab Shahih Bukhari tidak dipermasalahkan, artinya dia juga bisa menunjukkan ketersambungan sanad.

C.    Pemaknaan Hadits
1.      Analisis Matan
a.       Analisis Linguistik
o   لولا أن أشقّ               : لو adalah adat syarat. Jumlah أن dan أشقّ adalah mubtada’ dan takdirnya adalah المشقّة, maknanya seandainya tidak memberatkan. Khabar mubtadanya dihapus yang takdirnya موجودة.
o   لأمرتهم                     : jawab syarat dari لولا dan maknanya adalah pasti mewajibkan
o   بالسواك                    : takdirnya  باستعمال السواك, menggunakan siwak.[1]
Siwak berasal dari kata  ساك- يسوكyang berarti دلك menggosok. Sedangkan secara istilah, siwak berarti alat yang digunakan untuk membersihkan gigi yang berasal dari kayu ‘ud. Pada hadits di atas terdapat kalimat لولا أن أشقّ على أمتي أو على الناس atau dapat dikatakan أو لولا أن أشق على الناس yang merupakan keraguan dari perawi. Redaksi seperti itu hanya terdapat dalam riwayat Imam Malik sedangkan pada beberapa riwayat lain, lafadz yang digunakan adalah المؤمنين sebagai ganti dari lafadz أمتي dan ada juga riwayat yang hanya menggunakan lafadz أمتي tanpa menunjukkan keraguan sama sekali maksudnya tanpa mengiringinya dengan lafadz أوعلى الناس sebagaimana yang diriwayatkan oleh Yahya Ibn Yahya al-Laitsi. Al-Baidhawi berkata bahwa lafadz لولا  itu digunakan untuk meniadakan sesuatu karena bermaksud untuk menetapkan hal lain. Lafadz tersebut tersusun dari “لو  yang berarti tidak adanya sesuatu karena tidak tidak adanya sesuatu dan ” لا yang bermakna nafi’, yakni huruf yang menunjukkan tidak adanya sesuatu.
               Adapun maksud kalimat لأمرتهم بالسواك adalah niscaya Nabi saw. memerintahkan umatnya untuk menggunakan siwak. Jadi, setelah huruf “ب” terdapat lafadz yang terbuang, yakni باستعمال . Lafadz السواك merupakan alat sehingga apabila kalimat tersebut tidak ditakdirkan maka maknanya tidak dapat dipahami. Akan tetapi, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa lafadz السواك sudah menunjukkan kepada suatu perbuatan sehingga tidak butuh kepada pentaqdiran[2]. Menurut hemat penulis kedua pendapat ini bisa dikompromikan. Artinya, makna global dari hadits di atas adalah anjuran Rasulullah kepada umatnya untuk bersiwak dengan menggunakan kayu siwak setiap akan mengerjakan shalat.
               Mengenai perincian perbedaan redaksi dari hasi takhrij matan hadits di atas adalah sebagai berikut

o   Lafal مع diganti dengan عند
o   Lafal كل dihilangkan
o   Lafal على أمتي dihilangkan dan diganti dengan على المؤمنين
o   Lafal لأمرتهم diganti dengan لأمرهم
o   Menambahkan lafal به setelah kata لأمرتهم
o   Di akhir hadits ditambahkan lafal و لأخّرت العشاء إلى الثلث الليل أو شطر الليل (Musnad Ahmad, no. 7105), dan فإذا مضى ثلثي الليل أو نصف الليل نزل إلى السماء الدنيا جلّ و عزّ فقال هل من سائل فأعطيه هل من مستغفر فأغفر له هل من تائب فأتوب عليه هل من داع فأجيبه (Musnad Ahmad 9220)
حَدَّثَنَا يَحْيَى أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ الْوُضُوءِ وَلَأَخَّرْتُ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ شَطْرِ اللَّيْلِ (Musnad Ahmad, no. 7105)
حَدَّثَنَا يَحْيَى قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ الْوُضُوءِ وَلَأَخَّرْتُ الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِ اللَّيْلِ فَإِذَا مَضَى ثُلُثُ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفُ اللَّيْلِ نَزَلَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ هَلْ مِنْ تَائِبٍ فَأَتُوبَ عَلَيْهِ هَلْ مِنْ دَاعٍ فَأُجِيبَهُ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ فَذَكَرَ مَعْنَاهُ وَقَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا وَقَالَ فِيهِ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ (Musnad Ahmad, no. 9220)
Perbedaan lafal di atas mengindikasikan satu makna, tidak ada yang bertentangan. Merupakan hal yang wajar jika ditemukan perbedaan lafal dalam periwayatan hadits karena terdapat konsep periwayatan bil ma’na. yang menjadi masalah adalah hadits riwayat Imam Ahmad no. 7105 dan 9220. Dua hadits tersebut memuat tambahan yang ditemukan dalam al-Kutub al-Tis’ah selain musnad Ahmad. Apakah terdapat ‘illah dari dua riwayat tersebut atau statusnya sama dengan riwayat-riwayat lainnya yang tidak mengandung tambahan?
Dari aspek sanad, kedua hadits tersebut berstatus marfu’ dan semua rawinya tidak ada yang dijarah. Shighat tahammul wal adanyapun mengindikasikan sanad hadits tersebut benar-benar muttashil. Sedangkan dari aspek matan, penulis menemukan ‘illah dari dua riwayat tersebut. ‘Illahnya terletak pada perawi Ubaidillah Ibn Umar. Perawi Ubaidillah Ibn Umar hanya ada dalam dua riwayat ini. Dalam kitab al-‘Ial al-Waridah fi al-Ahaadits a-Nabawiyah karya al-Daruquthni dijelaskan riwayat dari Ubaidillah Ibn Umar ini bertentangan dengan riwayat orang lain[3], artinya dia menyendiri daam meriwayatkan dua hadits tersebut. Jadi, hadits riwayat Ahmad no. 7105 dan 9220 statusnya dhaif jika dilihat dari aspek matan.
b.      Konfirmasi dengan Dalil-dalil lain
Relevansi teks hadits tentang siwak jika dihubungkan dengan ayat-ayat al-Qur’an sangat jelas sekali. Menurut Imam Syafi’I, suatu hadits pasti berkaitan erat dan tidak mungkin terjadi kontradiksi dengan al-Qur’an. Kedua sumber ajaran Islam tersebut berjalan secara berkesesuaian. Dimana hadits menjelaskan serta mempertegas hukum-hukum dalam al-Qur’an, begitu pula sebaliknya.[4]
Kaitannya dengan masalah siwak, dalam al-Qur’an ada menyebutkan tentang perintah agar menjaga kebersihan, seperti surat al-Baqarah, ayat: 222
4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  
. . . Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Begitu juga kita temui dalam hadis-hadis yang lain, diantaranya adalah
·         Sunan Tirmidzy, kitab al-Adab ‘an Rasulillah, bab maa jaa’a fii al-Nazhaafah, no, 2733
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ إِلْيَاسَ عَنْ صَالِحِ بْنِ أَبِي حَسَّانَ قَال سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ نَظِيفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ جَوَادٌ يُحِبُّ الْجُودَ فَنَظِّفُوا أُرَاهُ قَالَ أَفْنِيَتَكُمْ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ قَالَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِمُهَاجِرِ بْنِ مِسْمَارٍ فَقَالَ حَدَّثَنِيهِ عَامِرُ بْنُ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ إِلَّا أَنَّهُ قَالَ نَظِّفُوا أَفْنِيَتَكُمْ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ وَخَالِدُ بْنُ إِلْيَاسَ يُضَعَّفُ وَيُقَالُ ابْنُ إِيَاسٍ

·         Shahih Muslim, kitab al-Imaan, bab Tahriimil Bikri wa Bayaanihi, no. 131
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ دِينَارٍ جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى بْنِ حَمَّادٍ قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبَانَ بْنِ تَغْلِبَ عَنْ فُضَيْلٍ الْفُقَيْمِيِّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Semua dalil tersebut secara jelas memperkuat perintah/anjuran agar senantiasa menjaga dan memelihara kebersihan.

2.      Analisis Historis
a.      Sababul Wurud
Setelah melakukan penelitian ke hadits-hadits yang setema dan merujuk ke kitab-kitab syarah, penulis tidak menemukan sababul wurud mikro dari hadits utama di atas, tapi penulis akan berusaha memaparkan sababul wurud makronya.
Ketika memperhatikan hadis utama, penulis mendapati adanya alasan-alasan tertentu sehingga Nabi saw. menyampaikan sabdanya tentang anjuran bersiwak. Hal pertama yang dipertimbangkan adalah aspek kesehatan. Hidup pola sehat merupakan perintah agama. Sehat rohaniyah, terlebih jasmaniyah. Nabi saw. sendiri sangat menjaga kesehatan beliau dan menyuruh sahabatnya juga melakukan hal yang sama. Seseorang yang selalu sehat rohani dan jasmani akan terasa lebih dekat dengan Allah swt., nyaman melaksanakan ibadah. Ini sudah jauh berbeda dengan orang yang tidak peduli terhadap dirinya, apalagi lingkungan sekitar. Orang berakal akan mengetahui betapa mahalnya nilai kesehatan tersebut.

b.      Fungsi Nabi
Untuk bisa memahami hadits Nabi secara tepat, diperlukan pengetahuan tentang bentuk matan hadits dan fungsi Nabi saw. ketika mengucapkan hadits tersebut, apakah saat mengucapkan hadits tersebut posisi Nabi sebagai rasul, kepala Negara, pribadi, hakim atau yang lain.
Mengenai fungsi Nabi saw, al-Dahlawi menjelaskan bahwa posisi Nabi saw. ketika mengucapkan sebuah hadits terbagi dua, sebagai penyampai risalah dan bukan sebagai penyampai risalah. Ketika sebuah hadits diucapkan Nabi saw. ketika beliau sebagai penyampai risalah hadits tersebut bersifat umum, artinya bisa terus diamalkan tanpa terkait ruang dan waktu. Berbeda dengan hadits yang diucapkan Nabi saw. ketika posisi beliau tidak menjadi penyampai risalah, artinya hadits tersebut  berhubungan ruang dan waktu (bersifat lokal dan temporal).
Hadits siwak yang penulis jadikan sebagai hadits utama di atas merupakan salah satu hadits yang diucapkan Nabi saw. ketika beliau tidak menjadi penyampai risalah. Siwak terpilih sebagai media untuk membersihkan mulut karena pada saat itu siwak merupakan alat terbaik dan teruji untuk membersihkan mulut.
Penggunaan siwak sebagai media pembersih mulut sangat terkait dengan ruang dan waktu. Mungkin saja suatu saat nanti siwak tidak lagi menjadi media karena telah ditemukan alat yang lebih dianggap mampu untuk membersihkan mulut.

c.       Sejarah Historis Teks Hadits
Dari hadits utama, riwayat Imam Bukhari dapat diketahui bahwa kayu siwak dijadikan sebagai media untuk membersihkan mulut. Pada masa Nabi saw, media tersebut tidak hanya dengan kayu siwak, tapi juga dengan air, debu, dan jari-jari tangan[5]. Sedangkan pada masa sebelumnya, medianya adalah bulu ayam, duri landak, tulang, katu, dan ranting-ranting[6].
Dari segi bahasa, kata siwak dengan harakat kasrah pada huruf sin menunjukkan suatu aktifitas dan alat. Pada masa Nabi saw. memang mereka menggosok gigi mereka dengan kayu siwak. Meskipun hasilnya kurang bersih mereka tetap memilihnya karena cara yang terbaik dan teruji untuk membersihkan gigi pada saat itu adalah dengan kayu siwak.
Siwak atau miswak (Chewing Stick) telah digunakan oleh orang Babilonia semenjak 7000 tahun yang lalu, yang mana kemudian digunakan pula di zaman kerajaan Yunani dan Romawi, oleh orang-orang Yahudi, Mesir dan masyarakat kerajaan Islam. Siwak memiliki nama-nama lain di setiap komunitas, seperti misalnya di Timur Tengah disebut dengan miswak, siwak atau arak, di Tanzania disebut miswak, dan di Pakistan dan India disebut dengan datan atau miswak. Penggunaan chewing stick (kayu kunyah) berasal dari tanaman yang berbeda-beda pada setiap negeri. Di Timur Tengah, sumber utama yang sering digunakan adalah pohon Arak (Salvadora persica), di Afrika Barat yang digunakan adalah pohon limun (Citrus aurantifolia) dan pohon jeruk (Citrus sinesis). Akar tanaman Senna (Cassiva vinea) digunakan oleh orang Amerika berkulit hitam, Laburnum Afrika (Cassia sieberianba) digunakan di Sierre Leone serta Neem (Azadirachta indica) digunakan secara meluas di benua India[7].
Siwak atau Miswak, merupakan bagian dari batang, akar atau ranting tumbuhan Salvadora persica yang kebanyakan tumbuh di daerah Timur Tengah, Asia dan Afrika. Siwak berbentuk batang yang diambil dari akar dan ranting tanaman arak (Salvadora persica) yang berdiameter mulai dari 0,1 cm sampai 5 cm. Pohon arak adalah pohon yang kecil seperti belukar dengan batang yang bercabang-cabang, berdiameter lebih dari 1 kaki. Jika kulitnya dikelupas berwarna agak keputihan dan memiliki banyak juntaian serat. Akarnya berwarna cokelat dan bagian dalamnya berwarna putih, aromanya seperti seledri dan rasanya agak sedikit pedas[8].
3.      Kontekstualisasi
Hadits utama di atas menjelaskan tentang sunnahnya bersiwak dengan kayu siwak setiap akan melakukan shalat. Dianjurkan bersiwak sebelum shalat karena shalat merupakan sebuah realisasi penghambaan seorang manusia kepada Allah, jadi  menghadap-Nya harus dalam keadaan bersih dan suci. Bersiwak tidak hanya dianjurkan ketika akan melaksanakan shalat, tapi juga ketika masuk rumah, bangun malam dan sebagainya. Banyak hadits yang menjelaskan kapan waktu-waktu bersiwak.
Di atas telah dipaparkan, penggunaan siwak sebagai media untuk membersihkan mulut karena pada saat masa Nabi siwak dianggap sebagai alat yang telah teruji untuk membersihkan mulut. Seiring berkembangnya waktu, ditemukan berbagai alat canggih yang mampu mempermudah aktivitas manusia. Siwak yang pada masa lalu dianggap sebagai alat tercanggih untuk membersihkam mulut mulai tersisihkan dengan adanya sikat gigi dan pasta gigi. Dari sinilah timbul sebuah permasalahan. Apakah sikat gigi dan pasta gigi dapatkan menggantikan posisi siwak dalam hal penggunaan dan manfaatnya?
Dalam sebuah penelitian, Al-Lafi dan Ababneh (1995) melaporkan tentang kandungan-kandungan yang terdapat dalam siwak. Siwak mengandung mineral-mineral alami yang dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan bakteri, mengikis plaque, mencegah gigi berlubang serta memelihara gusi. Siwak memiliki kandungan kimiawi yang bermanfaat, meliputi :
1.         Antibacterial Acids, seperti astringents, abrasive dan detergent yang berfungsi untuk membunuh bakteri, mencegah infeksi, menghentikan pendarahan pada gusi. Penggunaan kayu siwak yang segar pertama kali, akan terasa agak pedas dan sedikit membakar, karena terdapat kandungan serupa mustard yang merupakan substansi antibacterial acid tersebut.
2.         Kandungan kimiawi seperti Klorida, Pottasium, Sodium Bicarbonate, Fluorida, Silika, Sulfur, Vitamin C, Trimetilamin, Salvadorin, Tannin dan beberapa mineral lainnya yang berfungsi untuk membersihkan gigi, memutihkan dan menyehatkan gigi dan gusi. Bahan-bahan ini sering diekstrak sebagai bahan penyusun pasta gigi.
3.      Minyak aroma alami yang memiliki rasa dan bau yang segar, yang dapat menyegarkan mulut dan menghilangkan bau tidak sedap.
4.      Enzim yang mencegah pembentukan plak yang merupakan penyebab radang gusi dan penyebab utama tanggalnya gigi secara prematur.
5.      Anti Decay Agent (Zat anti pembusukan) dan Antigermal System, yang bertindak seperti Penicilin menurunkan jumlah bakteri di mulut dan mencegah terjadinya proses pembusukan. Siwak juga turut merangsang produksi saliva, dimana saliva sendiri merupakan organik mulut yang melindungi dan membersihkan mulut.

Selain kandungan-kandungan di atas, ditemukan lagi sejumlah besar klorida yang berfungsi menghilangkan noda pada gigi, flourida yang berguna bagi kesehatan gigi sebagai pencegah terjadinya karies dengan memperkuat lapisan email dan mengurangi larutan terhadap asam yang dihasilkan oleh bakteri, resin, silika yang berfungsi sebagai penggosok, sulfur yang dikenal dengan rasa hangat dan baunya yang khas, dan trimetilamin serta vitamin C yang berfungsi membantu penyembuhan dan perbaikan jaringan gusi.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa siwak dapat membunuh bakteri, mencegah gigi berlubang, mencegah pembentukan plak gigi, mencegah bau mulut, dan sebagainya[9]. Ini merupakan manfaat penggunaan siwak. Dalam kitab Ta’liim al-Muta’allim, ditemukan satu manfaat siwak yang tidak diketahui oleh banyak orang. Siwak bisa berfungi untuk mencerdaskan otak dan menguatkan hafalan[10].
Untuk masa sekarang sikat gigi dan pasta gigi dianggap sebagai alat yang lebih meyakinkan untuk membersihkan mulut. Mengenai kandungan zat-zat dalam pasta gigi tidak jauh berbeda dengan zat-zat yang ada dalam siwak. Diantara zat-zat  yang terdapat dalam pasta gigi itu meliputi: calcium carbonate, water, sorbitol, Hydrated Silica, Sodium Lauryl Sulfate, Sodium Monofluorophosphate, Flavor, Perlite, Cellulose Gum, Potassium Citrate, Sodium Silicate, Sodium Saccharin, DMDM Hydrantoin, CI 74160, CI 77891, dan lain-lain. 
Jika dibandingkan dengan zat-zat yang ada dalam siwak, zat-zat kimia pada pasta gigi tidak semuanya baik untuk kesehatan. Berbeda dengan yang terkandung dalam siwak yang kandungannya masih alami dan baik untuk kesehatan. Sebuah penelitian membuktikan siwak lebih mampu untuk membersihkan lapisan noda-noda dalam gigi. Penelitian yang lain juga membuktikan siwak yang telah dijadikan bubuk dan dicampur dengan pasta gigi lebih mampu membersihkan dan menjangkau sela-sela gigi secara sempurna dan mengeluarkan sisa-sisa makanan yang masih bersarang pada sela-sela gigi tersebut  daripada pasta gigi yang tidak mengandung campuran siwak. Namun, pada intinya manfaat siwak dan pasta gigi hampir sama, tapi yang menjadi catatan dalam hal ini manfaat siwak lebih besar. WHO (World Health Organization)  merekomendasikan kepada masayarakat untuk menjadikan siwak sebagai salah satu media untuk membersihkan mulut sehingga banyak perusahaan pasta gigi di dunia sekarang menyertakan bubuk siwak dalam produk mereka.




BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A.    Analisis Penulis
Dalam kajian linguistik telah dijelaskan bahwa makna global dari hadits utama di atas adalah anjuran untuk bersiwak dan menggunakan kayu siwak ketika akan melakukan shalat.  Anjuran ini sangatlah tepat karena ketika shalat seseorang siap menghadapkan jiwa dan raganya kepada sang Khaliq dalam keadaan rapi dan bersih.  
Bersiwak atau jika dikontekstualisasikan bisa bermakna menggosok gigi sampai sekarang selalu kita amalkan, tidak hanya ketika waktu shalat, tapi juga diluarnya. Aplikasi dari anjuran Rasul ini merupakan sebuah tanda bahwa kita mengamalkan sunnah Rasulullah, tapi sunnah dari siwak ini mulai tidak direalisasikan ketika kita bersiwak (menggosok gigi) tidak dengan menggunakan kayu siwak. Orang-orang lebih menyukai hal-hal yang praktis, yaitu menggunakan sikat gigi dan pasta gigi padahal dari segi kandungan dan manfaatnya kayu siwak lebih unggul dan lebih sehat dibandingkan dengan kedua alat tersebut.
 Pada era sekarang, jika kita ingin menghidupkan kembali pemakaian siwak itu sangat sulit untuk direalisasikan, tapi dengan adanya usaha dari WHO yang merekomendasikan kepada masyarakat dunia untuk menggunakan pasta gigi dengan campuran bubuk siwak sangat penulis apresiasi karena selain akan mendapatkan manfaat dan kandungannya, kita juga akan termasuk orang-orang yang mengamalkan sunnah Rasulullah karena telah mengamalkan hadits tentang anjuran bersiwak dengan kayu siwak di atas.

B.     Kesimpulan dan Penutup
Hadis yang menjadi pembahasa ini setelah dinilai dari kualitas sanad dan matan berstatus shahih. Secara redaksi ada beberapa berbedaan, karena hadis ini termasuk kategori hadis dengan riwayat bi makna.
Ditemukan beberapa alasan tertentu sehingga Nabi saw. menyampaikan sabdanya tentang anjuran bersiwak dengan menggunakan kayu siwak. Hal pertama yang dipertimbangkan adalah aspek kesehatan dan kebersihan. Hidup pola sehat merupakan perintah agama, sehat rohaniyah, terlebih jasmaniyah. Nabi saw. sendiri sangat menjaga kesehatan beliau dan menyuruh sahabatnya juga melakukan hal yang sama.
Pada masa Nabi memang mereka menggosok gigi mereka dengan kayu siwak. Meskipun hasilnya kurang bersih bila dibandingkan dengan sikat gigi. Hal itu karena cara yang terbaik dan teruji untuk membersihkan gigi pada saat itu adalah dengan kayu siwak.
Penggunaan siwak sebagai media untuk membersihkan mulut karena pada saat masa Nabi siwak dianggap sebagai alat yang telah teruji untuk membersihkan mulut. Seiring berkembangnya waktu, ditemukan berbagai alat canggih yang mampu mempermudah aktivitas manusia. Siwak yang pada masa lalu dianggap sebagai alat tercanggih untuk membersihkam mulut mulai tersisihkan dengan adanya sikat gigi dan pasta gigi.
Untuk masa sekarang sikat gigi dan pasta gigi dianggap sebagai alat yang lebih meyakinkan untuk membersihkan mulut. Mengenai kandungan zat-zat dalam pasta gigi tidak jauh berbeda dengan zat-zat yang ada dalam siwak. Yang pada intinya manfaat siwak dan pasta gigi hampir sama, tapi tetap tidak bisa dinafikan bahwa terdapat beberapa zat kimia dalam pasta gigi yang kurang bagus untuk kesehatan. Kesadaran adanya kandungan zat tersebut dan setelah mengamati kandungan zat dalam siwak yang ternyata lebih unggul dari kandungan pasta gigi menyebabkan WHO merekomendasikan kepada masyarakat di dunia untuk menggunakan pasta gigi yang mengandung campuran bubuk siwak. Usaha WHO ini sangat penulis apresiasi karena sebagai seorang muslim kita tetap akan bisa mengamalkan sunnah Rasululllah tentang anjuran bersiwak (menggosok gigi) dengan kayu siwak ini dapat kita amalkan dalam kehidupan kita sehari-hari tanpa harus menggunakan kayu siwak secara langsung.

               Demikian sedikit pemaparan makalah tentang “siwak”  dengan segala keterbatasan dan kekurangan dikarenakan kapabilitas penulis yang masih sangat terbatas serta luasnya pembahasan yang sebenarnya butuh waktu yang cukup lama untu memperoleh hasil yang benar-benar maksimal. Penulis menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan karena tiada gading yang tak retak oleh karenanya, penulis mohon kepada bapak dosen untuk memberikan saran dan koreksi yang membangun agar kedepannya dapat menyajikan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalany, Ibn Hajar. Fathul Baari. CD Rom al-Maktabah al-Syamilah
Al-Daruquthni.  A-‘Ial al-Waaridah fii al-Ahaadits al-Nabawiyah. CD Rom al-Maktabah al-Syamilah
A-Mubarakfury, M. Abdurrahman Ibn Abdurrahim. Tuhfatul Ahwady bi Syarhi Jami’ al-Tirmidzy. CD Rom Mausu’ah al-Hadits al-Syarif
Fathoni, Achmad dan Muhammad Syukron Maksum. 2008. Mukjizat Siwak: “Rahasia Kesehatan Gigi dan  Mulut ala Rasulullah SAW”. Yogyakarta: Penerbit Santusta.
Isma’il, Muhammad Ibn, Subulus Salaam, Semarang: Toha Putra, T.tp.
Mustaqim, Abdul. 2008.  Ilmu Ma’anil Hadits. Yogyakarta: Idea Press.
Najwah, Nurun. 2008.  Ilmu Ma’anil Hadis. Yogyakarta: Cahaya Pustaka.
Syafi’i.  Ar-Risalah. CD Rom al-Maktabah al-Syamilah


[1]  M. Abdurrahman Ibn Abdurrahim al-Mubarkafury, Tuhfatul Ahwady bi Syarhi Jami’ al-Tirmidzy, (CD Rom al-Mausu’ah al-Syarif).
[2] Ibn Hajar al-Asqalany, Fathul Baari, (CD Rom al-Mausu’ah al-Syarif).
[3] Al-Daruquthni, Al-‘Ilal al-Waaridah fii al-Ahaadits al-Nabawiyah, (CD ROM al-Maktabah al-Syamilah), juz 10 hlm 351-352.
[4] Lihat ar-Risalah Imam Syafi’i.
[5] Muhammad Ibn Isma’il, Subulus Salaam, (Semarang, Toha Putra,), hlm 14.
[6] Achmad Fathoni dan Muhammad Syukron Maksum, Mukjizat Siwak: “Rahasia Kesehatan Gigi dan  Mulut ala Rasulullah SAW, (Yogyakarta: Penerbit Santusta, 2008),  hlm 53 .
[7] Ibid.
[8] Achmad Fathoni dan Muhammad Syukron Maksum, Mukjizat Siwak…, hlm 56.
[9] Achmad Fathoni dan Muhammad Syukron Maksum, Mukjizat Siwak…, hlm 66.
[10] Al-Zarnuji, Ta’liim al-Muta’allim, (Semarang, Karya Putra), hlm 41.