Jumat, 20 April 2012

Ilmu Ma'anil Hadis

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Penelitian
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
)رواه البخارى(

Hadis di atas menjelaskan bahwa wanita itu setidaknya dinikahi oleh empat sebab: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Namun, jelas disebutkan bahwa sebaik-baik wanita yang dinikahi itu adalah karena agamanya yang baik. Ia adalah seorang wanita shalihah yang memang melaksanakan aturan-aturan Allah SWT dengan baik. Hal tersebut juga dimaksudkan agar wanita shalihah tersebut akan senantiasa menyenangkan hati suaminya. Ia tentunya akan menyadari dan tahu bahwa kewajibannya bersolek hanyalah untuk suami. Ia akan mentaati suami dengan sepenuh hati, berusaha untuk menyenangkannya dan untuk lebih khususnya dalam memenuhi kebutuhan batin sang suami (seks).
Kemudian, dijelaskan dalam hadis nabi SAW yang lain bahwa seorang wanita adalah ‘sesosok’ makhluk lembut yang tidak dapat diperlakukan dengan kasar. Demikian pula halnya dalam masalah pemenuhan kebutuhan syahwat (seks). Mereka pun mempunyai hak atas suami untuk mendapatkan kepuasan dalam berhubungan intim. Maka dari itu, tidak dibenarkan pula seorang suami untuk memaksa sang istri yang sedang sakit (kemaluannya), misalnya, untuk melakukan seks.[1] Hal tersebut tidak dibenarkan dalam Islam. Jika suami mengajak sang istri untuk melayani keinginannya, sedangkan sang istri tersebut dalam keadaan tidak mengizinkan (karena sakit, lelah ataupun yang lainnya), tetapi sang suami terus memaksanya, maka pada hakikatnya suami tersebut telah melanggar prinsip muasyarah bi al-ma’ruf.[2] Allah SWT berfirman:
 ...وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ  ...﴿١٩﴾
“...dan pergaulilah mereka secara patut (artinya secara baik-baik, baik dalam perkataan maupun dalam memberi nafkah lahir atau batin)...”[3]
Ayat tersebut mengindikasikan (selain memang hubungan seks harus dilakukan dengan cara-cara yang baik) akan pentingnya para suami untuk memperhatikan kondisi sang istri saat ingin melakukan ‘kesenangan’ tersebut.
Menyikapi permasalahan tersebut, penulis mencoba untuk memberikan gambaran mengenai bagaimanakah sebenarnya kedudukan suami dan istri dalam keluarga perihal pemuasan fantasi seks. Khusus untuk perempuan, sebenarnya bagaimanakah ukuran bagi seorang istri dalam mentaati sang suami (dalam hal ini mengenai sikap seorang istri yang diberikan terhadap suami ketika ada ajakan dari sang suami untuk melakukan hubungan badan)?

B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, agar permasalahan yang diangkat dapat lebih terarah dan terfokus, maka pokok-pokok permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagimana berikut:
1.      Bagaimanakah kedudukan suami dan istri dalam keluarga perihal pemuasan fantasi seks?
2.      Bagaimanakah ukuran bagi seorang istri dalam mentaati suami (dalam hal ini mengenai sikap seorang istri yang diberikan terhadap suami ketika ada ajakan dari sang suami untk melakukan hubungan badan)?

C.      Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sejalan dengan rumusan yang telah disusun, penelitian ini memiliki tujuan sebagaimana berikut:
1.      Mengetahui kedudukan suami dan istri dalam keluarga perihal pemuasan fantasi seks.
2.      Memahami ukuran atau batasan bagi seorang istri dalam mentaati suami (dalam hal ini mengenai sikap seorang istri yang diberikan terhadap suami ketika ada ajakan dari sang suami untk melakukan hubungan badan).
Sedangkan kegunaan penelitian ini antara lain:
1.Secara umum untuk memberikan arti akademis (academic significance) berkenaan dengan kedudukan suami dan istri dalam menjalani bahtera rumah tangga.
2.      Secara khusus untuk mengkontekstualisasikan teks yang ada yang terlihat ‘kaku’ agar dapat bermanfaat pada masa kini, sejalan dengan prinsip shalih li kulli zaman wa makan.

D.     Sistematika Penulisan
Makalah ini dibagi atas 6 BAB. Untuk perinciannya adalah sebagai berikut:
1.      BAB I
Di dalamnya tercantum Latar Belakang Penelitian, Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian dan Sistematika Penulisan.
2.      BAB II
Di dalamnya berisi tentang takhrij, kritik sanad dan kritik matan tehadap hadis utama sebagai fondasi akan penelitian selanjutnya.
3.      BAB III
Meliputi penjelasan tentang makna literal yang terkandung dalam hadis utama. Termasuk di dalamnya penjelasan mengenai hakikat hadis ‘misoginis’ dan analisis bahasa.
4.      BAB IV
Melputi penjelasan tentang makna kontekstual yang terkandung dalam hadis utama yang akan menghantarkan hadis tersebut pada sebuah pengertian yang lebih kompleks.
5.      BAB V
Pada bab terakhir ini, penulis mencoba menyuguhkan beberapa temuan kekinian yang patut untuk dipertimbangkan. Penulis batasi pada temuan faktor penyebab larangan seks bagi istri yang haidh dan peran ganda wanita, antara istri dan wanita karier yang berdampak pada penjelasan hadis sebelumnya.
6.      BAB VI
Berisi tentang kesimpulan dari pembahasan yang ada.
Setelah itu, penulis cantumkan sumber-sumber penelitian ini dalam Daftar Pustaka yang terdapat pada halaman terakhir makalah ini.


BAB II
TAKHRIJ, KRITIK SANAD DAN MATAN

A.     Hadis Utama
Shahih Bukhari no. 4794
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Basyar dari Ibnu Abi ‘Ady dari Syu’bah dari Sulaiman dari Abi Hazm dari Abi Hurairah ra. dari nabi SAW, beliau bersabda: Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur lalu istrinya menolak untuk memenuhi ajakannya maka para malaikat melaknatnya sampai waktu shubuh.” (HR. Bukhari)
Hadis di atas menjelaskan tentang salah satu bentuk ketaatan seorang istri terhadap suaminya. Ketika sang suami memerintahkan sesuatu yang ma’ruf (artinya perintah tersebut bukan merupakan perintah dalam melakukan kemaksiatan) terhadap sang istri, maka sejatinya ia untuk sesegera mungkin mentaati perintah tersebut. Sebab, syari’at menetapkan bahwa seorang suami memiliki hak yang sangat besar terhadap istrinya, sampai-sampai apabila diperkenankan oleh Allah SWT, niscaya nabi SAW akan memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.
Abdullah ibn Abi Aufa berkata: “Tatkala Mu'adz datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Seketika itu ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa nabi SAW adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu. Ketika ia kembali ke hadapan nabi SAW, ia berkata: "Ya Rasulallah, aku melihat orang-orang Nashrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka, maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu." Mendengar ucapan Mu'adz ini, bersabdalah nabi SAW:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ َأنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ الله عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
"Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makhluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Azza wa Jalla terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya terhadapnya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya bersenggama) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak)." (HR. Ahmad)[4]
Hadis ini memberi pengertian bahwa betapa besarnya hak suami terhadap istrinya. Sebagai konsekuensinya, sepatutnyalah seorang istri untuk selalu taat terhadap suaminya. Hal tersebut tentunya masih dalam koridor yang masih disyari’atkan dalam agama. Sebab, nabi SAW bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي المَعْرُوْفِ
“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, ketaatan itu hanya dalam kebaikan.” (HR. Muslim)
Hadis tersebut memberi pengertian bahwa jika sang suami memerintahkan sang istri untuk melakukan perbuatan yang menjurus kepada kemaksiatan kepada Allah SWT, maka kewajiban istri untuk mentaati suami pun menjadi gugur. Demikian pula jika sang suami memerintahkan sang istri untuk melakukan suatu perbuatan yang bukan termasuk sesuatu yang ma’ruf, maka sang istri boleh untuk tidak mendengarkannya dan tidak mentaatinya. Tentunya, penolakan tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang baik.


B.     Takhrij Hadis
Penelitian hadis di sini dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan takhrij hadits bi al-alfadz, yakni upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis dengan cara menelusuri matan hadis yang bersangkutan berdasarkan salah satu lafadz dari hadits yang dibahas. Kedua, dengan takhrij hadits bi al-maudhu’, yakni upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis berdasarkan topik masalah yang dibahas oleh matan hadits yang bersangkutan.[5] Hadits tentang ‘intervensi malaikat bagi istri dalam hubungan seksual’ ini memiliki banyak variasi. Namun, dari sekian variasi-variasi tersebut, penulis menemukan bahwa memang semua hadis yang ditakhrij tersebut sejalan, tidak ada yang saling bertentangan.
Untuk usaha pentakhrijan yang pertama, yakni dengan takhrij hadits bi al-alfadz, penulis menggunakan media CD Mausu’ah dengan menggunakan kata تَجِيءَ. Dari proses yang pertama ini, penulis menemukan beberapa hadis yang setema yang terdapat dalam lima kitab hadits, yaitu; Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Musnad Ahmad dan Sunan Al-Darimi. Berikut adalah beberapa hasil dari pentakhrijan hadis yang penulis temukan:

ü  Shahih Bukhari no. 2998
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ تَابَعَهُ شُعْبَةُ وَأَبُو حَمْزَةَ وَابْنُ دَاوُدَ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ
ü  Shahih Muslim no. 2594
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ وَاللَّفْظُ لِابْنِ الْمُثَنَّى قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ يُحَدِّثُ عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَوْفَى عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا بَاتَتْ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ و حَدَّثَنِيهِ يَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ حَدَّثَنَا خَالِدٌ يَعْنِي ابْنَ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَقَالَ حَتَّى تَرْجِعَ
ü  Sunan Abu Dawud no. 1829
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
ü  Musnad Ahmad no. 7159
حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ وَابْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ قَتَادَةَ عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَوْفَى عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا بَاتَتْ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا بَاتَتْ تَلْعَنُهَا الْمَلَائِكَةُ قَالَ ابْنُ جَعْفَرٍ حَتَّى تَرْجِعَ
ü  Sunan Al-Darimi no. 2131
حَدَّثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ أَخْبَرَنَا قَتَادَةُ عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَوْفَى الْعَامِرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا بَاتَتْ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً لِفِرَاشِ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ
Untuk memudahkan, penulis cantumkan hasil pentakhrijan tersebut dalam tabel di bawah ini:
No
Nama Kitab
Bab
Nomor Hadits
1.
Shahih Bukhari
Bad’ul Kholqi
2998
Nikah
4794, 4795
2.
Shahih Muslim
Nikah
2594
3.
Sunan Abu Dawud
Nikah
1829
4.
Musnad Ahmad
Baqi Musnad al-Mukassirin
7159, 8224, 8652, 9294, 9664, 9835, 10313, 10524
5.
Sunan Al-Darimi
Nikah
2131

Setelah melakukan proses takhrij bi al-alfadz, langkah selanjutnya adalah melakukan takhrij bi al-maudhu’ melalui CD Mausu’ah pula dengan cara mencari kitab[6] yang berhubungan dengan tema hadis yang sedang di takhrij, yaitu kitab Nikah. Setelah proses dilakukan, ternyata penulis menemukan hasil yang sama sebagaimana hasil yang telah ditemukan dengan menggunakan cara pentakhrijan yang pertama.[7]

C.      Kritik Sanad Hadis
Ada beberapa langkah untuk melakukan kritik sanad, diantaranya:
1.    Uji ketersambungan proses periwayatan hadis; dengan mencermati silsilah keguruan hadis dan proses belajar mengajar hadis (al-tahammul wa al-ada’) yang ditandai dengan lambang perekat riwayat (shighat al-hadis)
2.    Mencari bukti integrasi keagamaan perawi (al-‘adalah) yang menjangkau faham akidah, akhlak dan sikap politik perawi
3.    Menguji kadar ketahanan intelegensia perawi, data gangguan ingatan saat memasuki usia tua dan bukti kepemilikan naskah dokumen hadis (dlabit)
4.    Ada tidaknya jaminan keamanan dari gejala syadz atau dugaan keberadaan ‘illat dalam sanad hadis[8]
Dari proses pentakhrijan hadis, ditemukan bahwa hadis tentang laknat malaikat bagi wanita yang menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual dikeluarkan oleh lima mukhorrij hadis dari kutub al-tis’ah dengan jumlah hadis sebanyak 14 buah. Dari sekian hadis yang dikeluarkan tersebut, semuanya mengindikasikan bahwa hadis tersebut tidak hanya diriwayatkan melalui satu atau dua jalur saja. Setelah kami telusuri ketersambungan sanad pada hadis utamanya, terdapat 6 jalur periwayatan. Di antara satu jalur sanadnya, yaitu yang diriwayatkan dari  Muhammad ibn Yasar dari  Ibnu Abi Adi dari Syu’bah dari Sulaiman dari Abu Hazm dan dari Abu Hurairah.
No
Nama Perowi
Urutan Periwayat
Penilaian
Peingkat
Kualitas
1.
Abu Hurairah
I
Sahabat
1
Diterima
2.
Abu Hazm
II
Tsiqah
3
Diterima
3.
Sulaiman
III
Tsiqah hafidz
2
Diterima
4.
Syu’bah
IV
Tsiqah hafidz mutqin
2
Diterima
5.
Ibnu Abi Adi
V
Tsiqah
3
Diterima
6.
Muhammad ibn Basyar
IV
Tsiqah
3
Diterima

Dari data tersebut, setelah dilakukan penelitian, ditemukan bahwa semua sanad yang ada bernilai mutawatir; tidak ada sanad yang terputus. Penilaian ulama tentang para perawinya pun baik. Mereka memberikan kriteria adil kepada masing-masing perawi. Berdasarkan kesimpulan penulis, walaupun keadilannya berbeda tingkatan, tetapi hal tersebut tidak mengurangi kualitas dalam penerimaan hadis tersebut, yakni shahih dari segi sanadnya.

D.     Kritik Matan Hadis
Kualitas sanad hadis belum tentu sejalan dengan kualitas matan. Oleh sebab itu, penelitian pada matan juga diperlukan. Selain itu, juga dikarenakan standar penilaian suatu hadis adalah gabungan antara penilaian sanad dan matannya.
Para ulama telah merumuskan kaidah keshahihan matan. Suatu matan hadis dapat dikatakan maqbul jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.      Tidak bertentangan dengan al-Quran
2.      Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir yang statusnya lebih kuat ataupun sunnah yang masyhur serta hadis ahad
3.      Tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam
4.      Tidak bertentangan dengan sunnatullah
5.      Tidak bertentangan dengan fakta sejarah atau sirah nabawiyah yang shahih
6.      Tidak bertentangan dengan indera, akal dan kebenaran ilmiah ataupun jika sangat sulit diinterpretasikan secara rasional[9]
Sabda nabi SAW ini tidak bertentangan dengan kriteria diterimanya hadis dari sisi matannya. Sebab ketentuan nabi SAW tersebut memiliki sebab-sebab tertentu yang terkait dengan konteks sosio-historis[10] yang ada pada masa beliau. Dengan demikian, hadis ini pun terhindar dari cacat yang ada dalam matan dan dinilai shahih.


BAB III
MAKNA LITERAL

A.     Hakikat Hadis Misoginis
Hadis ‘misoginis’ merupakan hadis yang dianggap oleh sebagian orang sebagai sebuah hadis yang berisi pendiskriminasian terhadap perempuan. Pemberian stereotip ‘misoginis’ pada hadis-hadis yang sekilas memang tampak mendiskriminasi perempuan itu perlu diklarifikasi kembali. Apalagi jika hadis-hadis tersebut terdapat dalam masterpiece kitab-kitab hadis seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Bagaimana mungkin nabi SAW yang diutus untuk mengangkat harkat dan martabat umat manusia, tak terkecuali kaum wanita, malah merendahkan mereka dalam hadis-hadis beliau.
Adanya teks-teks hadis yang ‘misoginis’ tersebut merupakan respon atas masyarakat pada saat itu yang berbudaya patriarki dan menindas perempuan. Perempuan pada masa Jahiliyah tidak dihargai sama sekali. Kelahiran anak perempuan dianggap aib. Oleh karena itu, di antara mereka ada yang mengubur hidup-hidup bayi perempuan mereka dengan tujuan agar tidak menanggung beban malu.
Seiring dengan datangnya Islam yang ditandai dengan dengan diutusnya nabi SAW, secara pelan-pelan bentuk penindasan atas perempuan dihilangkan. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, merupakan sebuah kekeliruan jika mengklaim hadis-hadis nabi SAW ada yang berbau misoginis. Diperlukan adanya klarifikasi ulang terhadap pemaknaan hadis-hadis tersebut apakah hadis-hadis tersebut benar bersifat misoginis seperti bagaimana yang dikatakan oleh mereka yang mengklaim hal tersebut.

B.     Analisis Bahasa[11]
Redaksi yang dipakai dalam hadis ini perlu dicermati dengan seksama. Kata-kata ajakan suami dengan menggunakan kata دَعَا (دعا-يدعو-دعوة) memiliki makna mengajak dengan cara yang baik, sopan, penuh bijaksana dan mengetahui benar kondisi objek yang diajak seperti dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 125.[12]
Kata فِرَاشِ di dalam hadis ini tidak selalu diartikan sebagai kasur, tetapi kata ini mewakili جماع sebagai magza. Dikuatkan dengan perkataan Ibnu Abi Jamrah: “Firasy” di sini merupakan konotasi dari jima’.
Penolakan istri atas ajakan suami dengan menggunakan kata ابت yang mana jika dikaitkan dengan redaksi yang digunakan oleh Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 34, ketika menggambarkan sikap iblis yang tidak mau sujud kepada Adam, Allah SWT juga menggunakan kata أبى yang disandingkan dengan kata و استكبر yang berarti ”ia menolak dan menyombongkan diri”. Kemudian, kata-kata "فبات غضبان عليها" menunjukkan dampak yang terjadi, yaitu sang suami marah dan kesal karena sang istri menolak ajakannya.
Mengenai arti dari laknat malaikat terhadap istri yang menolak atau menghindar ajakan suami (لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ) juga perlu dilihat kembali. Kata laknat itu seolah-olah sesuatu yang sangat mengerikan dan menakutkan. Padahal, maksud dari laknat disini adalah jauh dari pada rahmat, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abi Jamrah:[13]
Kemudian, redaksi hadis secara tersurat menyatakan bahwa laknat ini berlaku hanya sebatas malam saja, dari sejak penolakan terjadi sampai datang waktu shubuh. Padahal, sebenarnya tidak demikian. Teks ini hanya mengindikasikan bahwa perihal jima’ biasa dikerjakan pada malam hari karena biasanya waktu lapang terdapat pada malam hari dan tidak tertutup kemungkinan hal ini dilakukan pada siang hari. Seperti pada hadis-hadis setema yang diriwayatkan dari Yazid bin Kaisan:
عن أبي حازم عند مسلم بلفظ " والذي نفسي بيده , ما من رجل يدعو امرأته إلى فراشها فتأبى عليه إلا كان الذي في السماء ساخطا عليها حتى يرضى عنها
Kata يرضى عنها di sini menunjukkan bahwa memang sebab laknat malaikat itu hanya sampai datangnya waktu shubuh adalah karena memang kejadiannya terjadi pada malam hari. Jika kejadiannya terjadi di siang hari, dapat dimungkinkan redaksinya pun akan lain. Demikian halnya seperti yang terdapat pada hadis Shahih Bukhari nomor 4795 yang menggunakan redaksi حَتَّى تَرْجِعَ, bukan حَتَّى تُصْبِحَ.[14]
Hadis yang ditangkap sebagai indikasi bahwa seksualitas adalah kewajiban istri dan hak suami ini masih perlu dilihat dan diintegrasikan dengan al-Qur’an yang berbicara tentang seksualitas. Dalam mengkaji suatu hadis, ada keharusan melihat al-Qur’an sebagai rujukan. Setiap hadis Nabi yang menyalahi makna/ruh teks al-Qur’an, maka hadis itu dinilai bukan sebagai kata-kata Nabi. Selain merujuk pada al-Qur’an yang tidak kalah pentingnya adalah melihat hadis-hadis Nabi dan al-Qur’an yang menunjukkan egaliter dalam masalah seksual. Ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan seksualitas antara lain: (1) Q.S. Al-Nisa’: 19: ”Dan pergaulilah mereka (isterimu) dengan cara yang ma’ruf/baik”; (2) Q.S. Al-Baqarah: 223: ”Isteri-isterimu adalah (bagaikan) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu bagaimana saja kamu kehendaki”; (3) Q.S. Al-Baqarah: 187: ”Kamu (suami) adalah pakaian bagi isterimu dan demikian sebaliknya”.
Selain melihat dalil-dalil lain berupa nash yang berkaitan dengan hubungan seksual antara suami-istri, juga perlu ditinjau kembali apa kata sains berkaitan dengan hal ini sebagai dalil ‘aqli. Menurut para ahli psikologi, hasrat seksual laki-laki lebih banyak berkaitan dengan fungsi fisiologisnya. Sebab, laki-laki akan mengumpulkan sperma ketika hasrat seksualnya meningkat sehingga menuntut untuk segera disalurkan. Berbeda dengan perempuan. Hasrat seksual mereka lebih banyak bersumber dari kebutuhan psikologisnya untuk memperoleh kehangatan dan cumbu rayu dari orang yang dicintainya.[15]
Ada beberapa fakta ilmiah tentang perbedaan seksual laki-laki dan wanita:
1.      Gairah seksual wanita berbeda dari waktu ke waktu yang diakibatkan oleh adanya haid yang disertai dengan perubahan hormon secara fisik. Sebaliknya, gairah seksual laki-laki bisa terjadi setiap saat dan tidak mengenal waktu.
2.      Laki-laki mudah sekali terangsang bahkan hanya dengan sekedar memikirkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas seksual meskipun tanpa persiapan sebelumnya. Sedangkan wanita memerlukan rangsangan sebelum melakukan hubungan seksual.. Sebab, ia (dalam hal ini mayoritas mereka) hanya akan menginginkan seks ketika suasana batinnya dipenuhi cinta, kasih sayang, rayuan dan sentuhan fisik terlebih dahulu.
Semua perbedaan alamiah ini, sangatlah penting direnungkan oleh pasangan suami istri agar mampu memahami kondisi masing-masing. Allah SWT telah menciptakan berbagai rahasia penciptaan dua jenis kelamin yang berbeda agar mereka dapat saling memenuhi hak-hak satu sama lain dengan sempurna.
Jadi, banyaknya nash-nash yang menekankan tentang hak suami dalam hubungan seksual dan menganjurkan istri untuk segera memenuhinya, adalah karena fitrah laki-laki itu menuntut; sedangkan wanita adalah pihak yang dituntut. Laki-laki sangat cepat merespon rangsangan sesuai dengan sikap hidup dan aktifitasnya. Maka, hendaklah suami bersikap lemah lembut dalam meminta hubungan seksual kepada istri. Demikian pula dengan sang istri, hendaklah ia bersikap kasih sayang dan lembut dalam memenuhi panggilan suaminya.
Meskipun demikan, bukan berarti Islam meremehkan hak seksual kaum wanita yang sama-sama penting dengan hak laki-laki. Salah satu bukti adalah riwayat dari Aun bin Juhaifah dari ayahnya yang menceritakan tentang Ummu Darda yang mengeluhkan suaminya yang tidak lagi memerlukan dirinya ketika ditanya oleh Salman al-Farisi. Salman pun menasehati Abu Darda: “Sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atas dirimu, dirimu sendiri juga memiliki hak atas dirimu, dan istrimu memiliki hak atas dirimu. Maka, berikanlah setiap hak kepada pemiliknya” Abu Darda lalu menanyakan pada Rasulullah saw dan beliau bersabda: “Salman benar”.[16]
Begitu banyak hikmah dari perintah memenuhi ajakan suami dengan segera, yang pada hakikatnya demi kepetingan istri juga. Keengganan seorang istri untuk melayani suaminya tanpa alasan bisa menyebabkan buruk sangka suami dan menganggap istrinya tidak lagi setia, sehingga dapat membuka kesempatan untuk melirik wanita lain. Bahkan, kalaupun suami berusaha keras menahan diri untuk tidak menyalurkan kebutuhan biologisnya, dia akan menderita tekanan batin, depresi, malas bekerja dan cepat marah yang tentunya berdampak negatif pada keharmonisan rumah tangga.
Jadi, dari analisis bahasa ini dapat disimpulkan bahwa laknat malaikat baru benar-benar terjadi pada istri jika ketika sang suami sudah mengajaknya dengan penuh kesopanan, tidak memaksa dan dengan penuh pengertian (dalam arti istri tidak sedang dalam keadaan uzur baik karena sedang haid maupun alasan rasional lainnya), tetapi sang isteri menolaknya dengan tanpa alasan. Sebagai implikasinya, laknat itu tidak akan terjadi jika memang sang suami memaksa sang istri untuk melayani, karena jika demikian berarti suami punya hak memaksa istri untuk memenuhi kebutuhan seksual mereka.


BAB IV
MAKNA KONTEKSTUAL

Pada bab ini akan disuguhkan pemaparan tentang maqasid syari’ah dari hadis yang ‘misoginis’ di atas. Perlu ditegaskan kembali bahwa hadis misoginis merupakan hadis yang dianggap mendiskriminasikan perempuan dalam berperan, dan bukan hadis yang mendiskriminasikan perempuan.
Dalam bab ini lebih difokuskan pada penggalian terhadap syarah dari hadis utama, didukung dengan analisis historis saat hadis itu muncul atau gambaran dunia arab saat kehidupan nabi SAW. Hal ini bertujuan supaya antara aspek mikro dan makro sabab wurud hadis dapat saling mendukung hingga mendapatkan sebuah potret pemahaman maqasid syariah hadis diatas. Dengan bahasa sederhana, memang pantas hukum tersebut diterapkan sesuai dengan konteks saat itu; dengan melihat berbagai pertimbangan dan juga kemungkinan yang ada.
Pembahasan ini akan dimulai dari syarah yang terdapat dalam kitab aunu al-ma’bud fi syarhi sunan abi dawud’. Jikalau seorang wanita itu menolak untuk diajak ke tempat tidur oleh suaminya, maka ia akan dilaknat oleh para malaikat hingga waktu subuh, atau hingga seorang istri tersebut bersedia kembali diajak suaminya.[17] Ini adalah dalil bahwa seorang istri dilarang menolak ajakan suaminya untuk tidur (jima’) tanpa suatu alasan. Bahkan, dalam keadaan haid pun, sang istri masih dihukumi wajib untuk mematuhi permintaan seorang suami. Sebab, ketika ia dalam keadaan haid, seorang suami masih dapat bercumbu rayu dengan istrinya dengan jalan istimta’ atau bersenang-senang pada selain wilayah izar (antara pusar sampai lutut; baca: jima’).
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana bisa seorang istri harus tetap melayani permintaan sang suami dalam keadaan apa pun dan dalam situasi bagaimana pun? Bahkan saat haid pun masih diwajibkan untuk menuruti permintaan karena dengan dalih masih terdapat hak yang bisa dimanfaatkan oleh suami yaitu selain wilayah izar[18]? Kemudian, alasan apakah sehingga permintaan suami itu begitu penting dan seperti mustahil untuk ditinggalkan?
Melihat sejarah yang terpotret dalam literatur, di sana dijelaskan bahwa pada masa jahiliyah, kebiasaan yang sudah dikenal salah satunya adalah poligami tanpa batas, bahkan mereka bisa menikahi dua wanita yang bersaudara sekaligus. Mereka juga bisa menikahi mantan istri bapaknya, entah karena dicerai maupun karena ditinggal mati. Selain itu, perzinaan pun merajalela. Sehingga bukan merupakan rahasia umum lagi jika berzina itu dapat menyebabkan timbulnya sebuah aib.
Dari sini, dapat dipahami bahwa orang Arab di masa Jaihiliyah memiliki daya syahwat yang tinggi sehingga perbuatan poligami merupakan hal biasa bagi mereka. Mereka bebas menyalurkannya kapanpun, di manapun dan kepada siapapun. Kebebasan ini kemudian melahirkan sebuah kebiasaan yang buruk, keji, bahkan taraf menjijikkan. Hal ini jelas akan berdampak pada status anak yang akan dilahirkan, yakni nasabnya akan  menjadi tidak jelas.
Sedikit dari gambaran di atas mengindikasikan bahwa betapa sedikitnya ruang gerak perempuan saat itu, hingga segala apa pun dikendalikan oleh kaum laki-laki. Kemudian, adanya kekuasaan yang lebih dari pihak laki-laki pada saat itu menggambarkan bahwa memang tugas yang dimiliki saat itu lebih banyak diemban oleh laki-laki hal tersebut berimplikasi pada berfungsinya hukum timbalbalik. Maksudnya, mereka yang memiliki banyak jasa akan dan harus menerima hak dari yang diberikan. Hal demikianlah yang menjadikan alasan mengapa saat itu redaksi hadis berbicara demikian.
Dalam Syarah Fathu al-Bari juga dituturkan hal demikian. Ibnu Abi Hamzah[19] berpendapat bahwa firash merupakan kinayah dari ajakan jima’ (bersetubuh). Dalam hal ini, seorang istri dinyatakan bersalah jika menolak ajakan suaminya untuk bersetubuh dengan tanpa alasan. Sebab, seorang istri berkewajiban untuk mentaati permintaan suami selama permintaan tersebut tidak memasuki wilayah maksiat kepada Tuhan-Nya. Selain itu, seperti telah disinggung pada pembahasan sebelumnya, keadaan haid pun tidaklah menjadi alasan bagi istri jika diajak suami untuk melakukan hubungan badan. Sebab, menurut pendapat ulama secara umum, suami masih memiliki hak untuk beristimta’ pada wilayah selain izar atau wilayah antara pusar dan lutut.[20]
Pernyataan ini menambah alasan akan begitu pentingnya penyegeraan sang istri untuk memenuhi permintaan sang suami untuk berhubungan badan. Kemudian, apakah selain karena peran penting laki-laki masih ada alasan lain yang menyebabkan permintaan itu harus segera terpenuhi?

A.     Asbab Wurud Hadis
Hadis tentang utama yang sedang dibahas ini belum ditemukan asbab al-wurud mikronya, tetapi dimungkinkan ada kaitannya dengan kondisi sosio-historis dan kultural saat itu ataupun dengan melihat asbab al-wurud makronya. Dari asbab al-wurud makro, ada kemungkinan hadis ini berkaitan dengan budaya pantang ghilah[21] yang ada di kalangan bangsa Arab sebelum itu. Mereka menganggap bahwa ghilah itu suatu yang ‘tabu’ untuk dilakukan. Budaya tersebut begitu kuat di kalangan wanita Arab, sehingga nabi SAW pernah bermaksud untuk melarang ghilah. Kemudian nabi SAW mengurungkan maksudnya tersebut setelah mengetahui bahwa ghilah yang dilakukan ternyata tidak menimbulkan hal buruk bagi anak-anak yang dilahirkan.[22]
Budaya pantang ghilah bagi wanita Jahiliyah tidak menjadi persoalan. Sebab, mereka boleh melakukan poligami dengan tanpa adanya batasan. Namun, jika pantang ghilah tetap dipertahankan, sementara poligami masih tidak ada batasan, maka hal ini sangat berat bagi mereka. Oleh karena itu, setelah datangnya Islam yang membawa aturan tentang batasan poligami (yang juga di dalam pelaksanaannya harus tetap memegang prinsip keadilan), maka penderitaan yang dialami kaum wanita pun dapat sedikit terobati. Selain itu, kemungkinannya, munculnya hadis tersebut adalah juga untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dirasakan para laki-laki Arab Muslim, di mana mereka tidak diperbolehkan untuk menyetubuhi istrinya tatkala ia hamil atau menyusui (padahal, mereka sangat ingin melakukannya). Selain itu, juga untuk menghilangkan budaya pantang ghilah yang masih diikuti oleh wanita Arab Muslim.
Kemudian, dimungkinkan hadis ini juga terkait dengan perkawinan Anshar dan Muhajirin, pasca hijrah nabi SAW ke Madinah. Laki-laki muslim Muhajirin yang ikut hijrah bersama nabi SAW ke Madinah, saat itu tidak banyak yang membawa harta. Sedangkan, perempuan muslimah Anshar yang ada di Madinah, kebanyakan mereka adalah penduduk asli Madinah yang mempunyai harta lebih dibandingkan laki-laki Muhajirin. Secara sosiologis dan juga psikologis, ada perempuan-perempuan Anshar yang merasa dirinya mempunyai status sosial yang lebih tinggi dan juga mempunyai kepercayaan diri dan harga diri yang tinggi. Sehingga, di saat mereka menikah dengan kaum Muhajirin, terkadang masih ada perasaan superioritas. Hal itulah yang kemudian berimplikasi pada hubungan seksual mereka. Kaum wanita tersebut merasa mempunyai hak baru terhadap suami-suami mereka. Dengan harta yang dimiliki, mereka seakan-akan dapat mengubah ketentuan yang ada, ketentuan yang menyebutkan bahwa sang suamilah yang lebih berhak mengatur keluarga, walaupun status sosialnya lebih rendah dari istrinya sendiri. Hal ini biasa terjadi. Namun, jika dibiarkan dengan tanpa adanya solusi yang menguntungkan kedua belah pihak, maka keharmonisan dan kebahagiaan keluarga itu akan tergangu. Oleh karena itu, hadis ini penulis anggap dapat menjadi solusi bagi permasalahan tersebut.

B.     Hakikat Syahwat
Dimulai dari faktor internal dari diri suami yang mempunyai syahwat. Memang dalam fitrahnya, syahwat[23] bukanlah sesuatu yang layak dibenci, tetapi merupakan karunia Allah SWT bagi seluruh makhluknya. Sebab, dari sinilah kita ada di dunia ini. Akan tetapi, bagaimana kemudian anugerah-Nya ini bisa memberikan nilai tambah bagi setiap diri (pribadi) manusia dan membedakan antara manusia dengan binatang yang juga dikaruniai syahwat ini?
Di dalam al-Qur’an, Allah SWT menjelaskan betapa sulitnya manusia me-manage syahwatnya, sehingga mereka banyak yang tergelincir ke lembah kehinaan karena godaan dari lingkungan sosialnya. Banyak wanita yang rela memberikan mahkotanya demi mengejar kesenangan sesaat.
Setelah Islam datang, kebiasaan buruk Jahiliyah ini kemudian diubah. Hubungan bebas (zina) diubah dengan sebuah pernikahan yang diatur oleh syari’at. Poligami yang tanpa batas dibatasi dengan batasan maksimal empat istri. Islam tidak melarang dan tidak pula menghinakan syahwat (hasrat seksual), melainkan hanya memberikan alternatif agar syahwat ini tidak menjadikan manusia menjadi hina layaknya binatang yang tidak bermoral dalam sebuah ikatan pernikahan sehingga hubungan ini menjadi halal. Al-Qur’an memandang bahwa manusia memiliki fitrah untuk mencintai sesuatu yang didambakan. Mereka ingin memiliki, menguasai, meraih, menikmati  dan memanfaatkan sesuatu yang mereka pandang indah dan menarik bagi dirinya, tanpa terkecuali.
Melihat betapa bahayanya syahwat ini jika tidak diarahkan kepada hal yang positif, maka banyak ayat-ayat Allah SWT yang berbicara tentang seksualitas. Begitu pula dengan nabi SAW, banyak sabda-sabda beliau yang berbicara tentang seksualitas. Beliau menganjurkan, bahkan mewajibkan para pemuda yang sudah mampu menikah untuk segera menunaikannya dan mengarahkan para orang tua untuk segera menikahkan anak perempuannya. Pasangan yang sudah menikah pun tidak terlepas dari bahaya ini. Mungkin ini salah satu alasan masih diperbolehkannya poligami dalam Islam. Ketika istri pertama tidak bisa melayani suami karena sakit ataupun ‘uzur lainnya, maka dari pada sang suami melakukan zina, jauh lebih baik jika dia menikah lagi.
Dengan adanya fakta-fakta tersebut, maka tidak heran, jika kemudian kita temukan hadis nabi SAW yang mewajibkan bagi seorang istri untuk melayani suaminya (yaitu berhubungan seks) jika dia memintanya. Tentunya dengan syarat tidak ada paksaan dan kekerasan di dalamnya serta sang istri tidak dalam keadaan sakit atau ‘uzur lainnya.
Yang menjadi permasalahan berikutnya adalah mengapa di dalam hadis-hadis yang ada, terlihat seperti ada diskriminatif terhadap perempuan. Dalam hadis tersebut hanya disebutkan adanya laknat malaikat bagi istri yang menolak ajakan suaminya. Kemudian, bagaimana jika yang mangajak adalah sang istri dan sang suami yang menolak? Apakah sang suami juga akan mendapat laknat malaikat? Padahal seorang wanita juga mempunyai syahwat, sama seperti laki-laki?
Mengenai hal ini, dalam syarah Fathu al-Bari dinyatakan bahwa laknat bagi seorang istri, ada beberapa riwayat lain yang bernada intinya sama, yaitu jika seorang istri menolak diajak berhubungan badan, maka penduduk langit akan melaknatnya hingga suami merelakannya.[24] Bahkan ada juga sebuah riwayat yang menyatakan bahwa ada tiga alasan mengapa shalat seorang hamba itu tertolak, yang salah satunya adalah seorang istri yang suaminya marah lantaran ia menolak untuk diajak bersetubuh hingga istri tersebut mau diajaknya. Hal ini juga didukung dari syarah ‘Aunu al-Ma’bud fi Syarhi Sunan Abi Dawud. Di sana juga ditemukan bahwa laknat dalam hadis di atas adalah bahwa laknat itu akan terus menimpa istri hingga waktu pagi datang. Hilangnya laknat tersebut yaitu dengan datangnya waktu subuh atau bersedianya seorang istri untuk diajak tidur bersama.[25]
Sedangkan mengenai siapakah nantinya yang akan dilaknat, apakah yang jika diajak (si istri) ia menolak, ataukah suami juga berpeluang ada kemungkinan untuk dilaknat? Pada syarah Fathu al-Bari dijelaskan bahwa ada beberapa poin mengenai permasalahan hadis diatas yaitu:
1.      Dibolehkan untuk menolak jika saat suami mengajak pas siang hari, karena redaksi yang ada dalam hadis adalah malam hari.
2.      Salah satu alasan mengapa seorang istri harus memenuhi permintaan suami adalah karena ia memiliki kewajiban mencari ridho dari suami dengan jalur membantu dan mentaatinya.
3.      Hasrat seksualitas yang dimiliki suami lebih rendah dari pada hasrat yang dimiliki istri setelah pernikahan. Maka, syariat memerintahkan supaya seorang istri bergegas memenuhi permintaan suami jika diajak tidur bersama.
4.      Taatnya seorang istri terhadap suami merupakan wujud ketaatannya pada Allah SWT.
5.      Jika dilakukan atas dasar kesabaran dalam menjalankan perintah suami dan juga menaati perintah Allah, maka akan mendapat pahala dari sisi-Nya.
6.      Seorang suami juga harus memenuhi kewajiban yang dia miliki. Jika kewajiban terpenuhi, maka malaikat akan berpihak kepadanya.
Dicantumkan pada poin terakhir bahwa jika seorang suami memenuhi kewajibannya sebagai kepala keluarga, maka malaikat akan berpihak kepadanya. Sekali lagi, melihat potret sejarah yang tercipta saat itu bahwa peran laki-laki bagi kelangsungan keluarga begitu vital, walau ada kemungkinan lain yang melatarbelakangi untuk tidak menyebutkan alasan yang demikian seperti kasus istri dari pihak Anshar. Namun, lebih banyak bahwa laki-laki mendominasi saat itu, sehingga redaksi hadis di atas memang patut untuk saat demikian.
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa kewajiban seorang istri untuk memenuhi permintaan suami ketika diajak tidur bersama karena memang hak seorang suami untuk mendapat layanan dari sang istri[26] dan karena peran sosial yang dimainkan oleh suami lebih besar saat itu. Suami banyak memberikan kontribusi seperti memberi nafkah, menciptakan rasa aman dari segala macam ancaman, yang memang semua itu di luar batas kemampuan istri saat itu. Sehingga syariat benar dan tepat jika memutuskan bahwa seorang istri harus patuh dan taat terhadap setiap permintaan suami yang memang bebas dari unsur kemaksiatan.
Permintaan suami kepada istri ini tidak bisa dihalangi dengan alasan sepele. Sebab, jika kita menimbang dari segi maslahahnya, hal ini sangatlah penting. Sebab lainnya adalah jika melihat budaya yang hidup pada saat itu, jalan seperti demikian akan lebih baik dilakukan daripada seorang suami harus melancong kepada wanita lain.[27] Oleh karenanya, dalam keadaan haidh pun, sang istri masih diwajibkan untuk memenuhi permintaan suami untuk bercumbu rayu.
Dari sini, jelaslah bahwa tidak berati sang istri dapat menolak semua perintah suami dengan seenaknya, melainkan harus dengan cara-cara yang baik pula. Demikian halnya dengan sang suami, ia pun harus menyikapinya dengan cara-cara yang baik pula supaya tidak terjadi konflik yang berkepanjangan.
BAB V
MAKNA KEKINIAN

Dalam masalah kekinian, kita selaku pelaku sejarah dapat dipastikan akan berhubungan dengan sesuatu yang baru. Ketika sesuatu yang baru itu berimplikasi pada adanya gangguan yang fatal, kita dituntut untuk mengetahui gangguan-gangguan itu dan mencoba untuk menyelesaikannya secara wajar dan bijaksana.
Di dalam mengarungi bahtera rumah tangga, setidaknya kita diharuskan untuk selalu menjaga kepercayaan di antara masing-masing individu (suami-istri) dan juga selalu terselenggaranya sikap saling pengertian di antara dua belah pihak. Salah satu dari mereka harus ada yang berkorban demi kemaslahatan bersama dan demi terjaganya keselarasan dalam rumah tangga.
Keduanya tentunya mempunyai hak dan kewajibannya masing-masing, baik itu dalam masalah intern (di dalam lingkungan rumah) maupun masalah ekstern (di luar lingkungan rumah). Tiap invidu harus dapat me-manage keperluannya masing-masing dengan tanpa harus menimbulkan kerugian di salah satu pihak. Di sinilah rupanya fungsi dari adanya sikap pengertian itu harus berjalan.
Jika dikaitkan dengan permasalahan yang sedang dibicarakan, ada sedikit hal menarik yang mesti kita ketahui dan kita pertimbangkan. Saat ini, ketika seorang istri dituntut untuk selalu taat kepada suaminya, ternyata ada sebagian sisi yang memang harus ada toleransi dari pihak suami kepada pihak istri.
Saat ini, dunia sudah semakin modern. Persaingan pun semakin ketat. Pria dan wanita berlomba-lomba untuk mendapatkan yang terbaik dalam kehidupan yang fana ini. Namun, apakah dengan situasi yang demikian dapat mengubah nash-nash yang ada? Apakah ketentuan yang ada itu sudah baku ataukah masih dapat dikompromikan?
Islam adalah sebuah agama yang ‘universal’. Maksudnya, Islam mampu mengkaver seluruh permasalahan yang ada, yang terjadi pada umatnya. Ketika seorang istri dituntut untuk selalu patuh terhadap suami[28] dalam hal-hal yang ma’ruf, maka hal tersebut memang benar adanya. Namun, jika ternyata ada hal-hal lain yang menyebabkan istri tidak dapat melayaninya (selain yang telah disyari’atkan[29]), maka apakah masih demikian?
Di bawah ini, penulis angkat dua isu yang dapat menjadi pertimbangan dalam pembahasan ini, terutama bagi pasangan suami-istri. Bagaimana keduanya dapat saling memberi pengertian sehingga keharmonisan keluaga pun dapat terjaga.

A.   Sisi Biologis Wanita
Islam merupakan agama yang sangat toleran. Ia mengerti akan setiap masalah yang terjadi pada para penganutnya. Agama Islam juga sangat meghargai perempuan. Sejarah membuktikan bahwa pada zaman pra-Islam (jahiliyah), para wanita sangat terpojokkan dalam berbagai hal. Mereka dapat diperjualbelikan bagaikan barang dagangan. Selain itu, berlaku pula sistem nikah poliandri, di mana sang istri bisa memiliki suami lebih dari satu.[30] Padahal, hal tersebut sebenarnya dapat merugikan sang istri dalam berhubungan intim, misalnya. Setelah Islam datang, kebiasaan-kebiasaan buruk mereka mulai mengalami reparasi. Derajat perempuan pun diangkat sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat merugikan mereka sedikit demi sedikit dihilangkan.
Demikian halnya dalam masalah berhubungan badan antara suami dan istri. Islam melarang para suami yang ingin menjima’ istrinya yang sedang datang bulan (haidh). Sebab, mereka (para istri) hanyalah akan memperoleh kesengsaraan dalam melakukannya. Dengan demikian, kondisi sang istri pun harus menjadi pertimbangan sang suami ketika ingin menyalurkan hasratnya.
Dalam Ilmu Biologi dijelaskan bahwa wanita memang berbeda dengan pria dalam bentuk, sifat dan susunan tubuh. Bentuk wanita dan seluruh tubuhnya sejak dalam rahim telah tersusun sedemikian rupa. Ia telah dipersiapkan untuk melahirkan dan memelihara bayi yang ia lahirkan.[31] Berdasarkan para pakar biologi dan anatomi, riset mereka menunjukkan bahwa wanita di waktu datang bulan mengalami perubahan-perubahan dalam fisik dan psikisnya. Di antara perubahan-perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Panasnya menurun
2.      Kelambatan pada denyut nadi, berkurang tekanan darah dan jumlah sel-selnya sedikit
3.      Kelenjar gondok dan kelenjar limpa serta kedua amandel mengalami perubahan
4.      Pengeluaran garam fosfat dan chlorid dari tubuh menjadi berkurang
5.      Pencernaan terganggu
6.      Kekuatan pernafasan melemah dan alat-alat pengucapan mengalami perubahan khusus
7.      Perasaan menjadi tumpul dan timbul perasaan malas
8.      Kecerdasan dan daya konsentrasi berkurang[32]
Dari sini, kita dapat menemukan alasan atau faktor penyebab mengapa Islam melarang sang istri untuk digauli suami saat ia sedang haidh. Dengan melihat fakta-fakta yang ada, maka dapat ditarik pengertian bahwa memang kaum suami tidak boleh memaksa kaum istri untuk melakukan seks jika sang istri sedang dalam keadaan sakit ataupun lelah yang mengakibatkannya tidak bergairah untuk melakukannya. Jangankan untuk istri, sang suami pun tentunya tidak akan mendapatkan kepuasan tersebut secara maksimal.
Fakta ini menjadi pendukung atas keharusan sang suami untuk mengetahui kondisi sang istri ketika ia ingin menyalurkan keinginannya dalam berhubungan badan. Sang suami harus mengerti keadaan istrinya, apakah ia sedang sakit, lelah ataupun kondisi lainnya yang dapat merugikan salah satu pihak (dalam hal ini adalah sang istri).

B.   Wanita, Antara Karier dan Keluarga
Perkembangan ekonomi dan perubahan nilai-nilai sosial dan budaya membuat perilaku wanita bekerja di luar rumah menjadi hal yang biasa. Partisipasi wanita di dunia kerja cenderung semakin meningkat. Di Amerika Serikat, misalnya, pada tahun 1950, wanita bekerja (selanjutnya disebut dengan wanita karier) mencapai 29%. Pada tahun 1990, angkatan kerja wanita mencapai 57,7 %.[33] Hal ini memperlihatkan mayoritas wanita di Amerika Serikat bekerja sebagai wanita karier.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab partisipasi wanita dalam dunia kerja yang teridentifikasi adalah faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Selain faktor ingin memperoleh pendapatan (faktor ekonomi), wanita karier juga didorong oleh keinginan untuk berkembang dan memperoleh kepuasan yang datang dari pekerjaan. Adanya peningkatan dalam angkatan kerja wanita seakan menyiratkan adanya negosiasi peran wanita dari semula mengasuh anak, mengurusi rumah dan taat kepada suami menjadi turut serta dalam memikul tugas ekonomi keluarga dan aktualisasi diri.
Selain terjadi peningkatan kuantitas pekerja wanita, diidentifikasi terjadi peningkatan kualitas pekerja wanita. Hal ini terlihat dari masuknya wanita pada pekerjaan yang dahulu hanya didominasi oleh laki-laki. Di Indonesia, misalnya, sudah ada presiden wanita, menteri wanita, bupati wanita dan direktur wanita. Dari sana terlihat akan peningkatan wanita pekerja yang berpendidikan dan meningkatnya proporsi wanita yang menduduki posisi-posisi level manajerial. Syahroza dan Tjiptono[34] menyatakan bahwa di Australia, persentase manajer wanita cukup signifikan dalam beberapa industri, seperti kesehatan, pendidikan (48,1%), hiburan (38%) dan sektor properti dan asuransi (22,1%). Pada saat ini, dua dari tiga karyawan pria mempunyai istri yang bekerja. Dengan demikian, pasangan karier ganda (twocareer couples) telah menjadi suatu norma pada saat ini. Kondisi tersebut menimbulkan masalah dalam hal mengelola pekerjaan dan tanggung jawab keluarga. Apabila keseimbangan tidak tercapai, maka akan timbul konflik keluarga-pekerjaan.[35]
Saat ini, peran wanita telah bergeser dari peran tradisional menjadi modern. Dari hanya memiliki peran tradisional untuk melahirkan anak (reproduksi) dan mengurus rumah tangga, kini wanita memiliki peran sosial dimana mereka dapat berkarier dalam bidang kesehatan, ekonomi, sosial, maupun politik dengan didukung pendidikan yang tinggi. Secara tradisional, peran wanita seolah dibatasi dan ditempatkan dalam posisi pasif (dalam arti, wanita hanyalah pendukung karier suami). Peran wanita yang terbatas pada peran reproduksi dan mengurus rumah tangga membuat wanita identik dengan pengabdian kepada suami dan anak. Sementara, wanita modern dituntut untuk berpendidikan tinggi, berperan aktif dan kritis.
Pergeseran peran wanita tersebut yang memang di samping atas kebutuhan masing-masing, tetapi juga disebabkan faktor ekonomi, menjadikan mereka memiliki perlakuan yang sedikit berbeda dibandingkan dengan wanita tempo dulu (dalam hal ini, saat hadis ini lahir). Hal tersebut patut untuk menjadi perhatian yang sangat penting.
Sebagai contoh, di suatu kampung, misalnya, terdapat suatu keluarga yang mana peran istri di sana memiliki kelebihan dibanding dengan suaminya. Sang suami tersebut mengalami sakit yang berkepanjangan yang tidak memungkinkan dirinya untuk menafkahi keluarganya. Kemudian, istrinya yang memang bekerja sebagai dokter kandungan, misalnya, pada suatu malam mendapat panggilan oleh tetangganya untuk membantu dalam proses kelahiran anaknya. Padahal, malam itu sang suami mendesak untuk berhubungan intim dengannya. Dalam hal ini, apakah seorang istri memang harus mengedepankan perintah suaminya untuk bersetubuh ataukah memenuhi panggilan sosial untuk membantu proses kelahiran anak yang padahal di kampung tersebut hanya si istri tersebutlah yang dapat membantu mereka yang membutuhkan?
Penulis berpendapat, bahwa dalam hal ini, sang suamilah yang seharusnya mengalah dan merelakan istrinya untuk melakukan tugas kemanusiaan tersebut. Sebab, kebutuhan umum haruslah diutamakan daripada kebutuhan pribadi yang memang hanya didasarkan pada ‘nafsu belaka’. Sang istri pun dapat menolak ajakan suaminya tersebut dengan alasan mengambil salah satu kaidah ushul fiqh yang menyebutkan bahwa menolak kemadharatan lebih diutamakan daripada mempertahankan kemaslahatan.[36]
Dengan adanya fakta-fakta ini, ‘suami-suami masa kini’ harus lebih memiliki pengertian terhadap istri-istri mereka. Sebab, jika melihat tuntutan zaman yang kian mendesak bagi perekonomian keluarga dan juga tuntutan sosial (kemanusiaan) dan moral yang ada, sangat diperlukan adanya saling pengertian di antara masing-masing individu. Dengan demikian, sangat tepat jika Islam mendapat gelar agama yang rahmatan li al-‘aalamiin.


BAB VI
KESIMPULAN

Sebagai pelaku sejarah yang pasti akan mengalami perubahan, kita dituntut untuk lebih menhargai perubahan-perubahan itu. Banyak hal yang memang terlihat baku, tetapi dalam kenyataannya semua itu sangat terpengaruh oleh perubahan itu. Sehingga, hal-hal yang baku itu pun mau tidak mau harus bersahabat dan beradaptasi dengan keadaan yang ada.
Seorang istri yang dituntut keras supaya selalu patuh dan taat terhadap suami, ternyata tidak selamanya demikian. Di sana masih terdapat hal-hal yang memang membolehkan sang istri untuk tidak mentaati sang suami yang tentunya dengan cara-cara yang baik pula.
Demikian halnya dengan sang suami. Ia harus mempunyai pengertian terhadap istrinya. Jangan karena ia memiliki wewenang yang diberikan agama untuk menjadi yang lebih dari perempuan, ia bisa dengan seenaknya memakai wewenang itu untuk kepentingannya sendiri, bahkan untuk melampiaskan hawa nafsunya. Hal tersebut sangat tidak dibenarkan dalam Islam.
Namun, bukan berarti pula hal ini menjadikan sang istri dapat memanfaatkan kesempatan yang ada ini untuk tidak mentaati suami dengan tanpa alasan. Sebab, pada dasarnya Islam telah memberi alternatif dan solusi yang tepat bagi sebuag rumah tangga. Islam mengajarkan seorang istri untuk mentaati suaminya dengan baik karena memang sang suami berhak menerimanya berdasarkan kontribusi yang ia berikan terhadap keluarga, di samping memang kedudukannya dalam keluarga adalah sebagai kepala keluarga yang harus menafkahi dan membimbing keluarganya menuju jalan yang diridhai Allah SWT. Dan Islam memberikan kelonggaran bagi sang istri di dalamnya untuk tidak mentaati suami yang memang di luar perkara ma’ruf melainkan supaya keharmonisan dan kerukunan keluarga dapat terjaga dengan baik. Dengan demikian, jelaslah fungsi Islam sebagai rahmatan li al-‘aalamiin.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasjim. 2004.  Kritik Matan Hadits. Yogyakarta: Teras.
Adhim, Muhammad Fauzil. 1999. Mencapai Pernikahan Barokah, Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Al-Farj , Zainuddin Abi. 1422 H. Fathu al-Bari li Ibni Rajab. Makkah: Daar ibn Jauzy.
Al-Haq, Muhammad Syamsuddin. 1415 H. ‘Aunu al-Ma’bud; Syarhu Sunan Abi Dawud. Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Mubarakfury, Shafiyyur Rahman. 2008. Sirah Nabawiyah terj. Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Cascio, F. Wayne. 1998. “Managing Human Resources: Productivity” dalam Quality of Work Life, Profit, Fifth Edition. New York: Irwin McGraw-Hill.
Haq, Hamha. 2007. Aspek Teologis Konsep Maslahah Mursalah dalam Kitab Al-Muwafaqat. Jakarta: Erlangga.
Hasan, Ali.____. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Subhan, Zaitunah. 1999. Tafsir Kebencian. Yogyakarta: LkiS.
Sudrajat, Ajat. 2008. Fikih Aktual. Ponorogo: STAIN Ponorogo.
Suryadi dan Al-Fatih Suryadilaga. 2009. Metodologi Penelitian Hadits. Yogyakarta: TH-Press.
Sutanto, Edy. 2000. “Working Women and Family” dalam JEBI, Vol. XV.
Syahroza (dkk.). 2002. “Pendekatan Gender dalam Organisasi” dalam Usahawan Manajemen, No. 6.
CD al-Maktabah al-Syamilah.
CD Mausu’ah al-Hadis.


[2] Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 151
[3] QS. Al-Nisa: 19
[5] Suryadi dan Al-Fatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadits (Yogyakarta: TH-Press, 2009), hlm. 48-29
[6] Kitab di sini adalah kitab dalam dalam kosakata Arab yang berarti bab dalam kosakata Indonesia
[7] Sebagai contoh, lihat bab Idza Batat al-Mar’ah Muhajirotan Firosya Zaujiha dalam kitab shohih Bukhori no. 4794 dan 4795
[8] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 12-13
[9] Suryadi dan Al-Fatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadits (Yogyakarta: TH-Press, 2009), hlm. 146
[10] Penjelasan mengenai konteks sosio-historis ini akan dibahas pada pembahasan-pembahasan berikutnya
[11] Referensi utama yang kami gunakan di sini adalah Fathul Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari.
[12] Ayat tersebut berbunyi:
 äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
[13] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bāri dalam CD al-Maktabah al-Syamilah.
[14] Meskipun redaksi حَتَّى تُصْبِحَ lebih banyak digunakan karena menunjukkan kebiasaan jima‘ itu dilakukan pada malam hari.
[15] Muhammad Fauzil Adhim, Mencapai Pernikahan Barokah, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999 M, h 181-182.
[16] Shahih Bukhari, Kitab al-Shaum, Bab Man Aqsama ala Akhihi li Yaftura fi al-Tatawwu‘ dalam software al-Maktabah al-Syamilah al-Ishdar ­3.8.
[17] Muhammad Syamsuddin al-Haq, ‘Aunu al-Ma’bud; Syarhu Sunan Abi Dawud (Beirut: Daar Kutub al-Ilmiyah, 1415 H)

[18] Yakni dengan jalan istimta’ tadi.
[19] Zainuddin Abi al-Farj ,Fathu al-Bari li Ibni Rajab (Makkah: Daar ibn Jauzy, 1422H)
[20] Ada juga yang berpendapat bahwa wilayah yang boleh dibuat istmta’ adalah selain farji (kemaluan) saja.
[21] Ghilah adalah bersetubuh dengan istri yang sedang hamil atau menyusui
[22] HR. Muslim dari Jazamah binti Wahib
[23] Sering diterjemahkan dengan hasrat seksual. Namun, sebenarnya memiliki pengertian yang jauh lebih luas. Dalam pengertian bahasa (Arab), syahwat dimaknai sebagai kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat inderawi dan materiil.
[24] Zainuddin Abi al-Farj ,Fathu al-Bari li Ibni Rajab (Makkah: Daar ibn Jauzy, 1422H)
[25] Muhammad Syamsuddin al-Haq, ‘Aunu al-Ma’bud; Syarhu Sunan Abi Dawud (Beirut: Daar Kutub al-Ilmiyah, 1415 H)
[26] Hamha Haq, Aspek Teologis Konsep Maslahah Mursalah dalam Kitab Al-Muwafaqat, (Jakarta: erlangga,2007) hlm. 180.
[27] Karena memang kebiasaan berzina masih masif pada saat itu.
[28] Dalam hal ini adalah ketika ia diajak oleh suaminya untuk berhubungan badan.
[29] Larangan suami untuk ‘mendekati’ istrinya ketika istrinya tersebut dalam keadaan haid (menstruasi), baru selesai melahirkan (nifas) dan juga dilarang untuk menyetubuhinya bukan pada tempatnya, yakni pada anus (dubur).
[30] Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah terj. Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm. 32.
[31] A. Sudrajat, Fikih Aktual (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2008), hlm. 124-125
[32] Ali Hasan, Masail Fiqhiyah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 195
[33] Edy Sutanto, “Working Women and Family” dalam JEBI, Vol. XV, 2000, hlm. 675
[34] Syahroza (dkk.), “Pendekatan Gender dalam Organisasi” dalam Usahawan Manajemen, No. 6, 2002, hlm. 117
[35] F. Wayne Cascio, “Managing Human Resources: Productivity” dalam Quality of Work Life, Profit, Fifth Edition (New York: Irwin McGraw-Hill, 1998), hlm. 412
[36] Dalam hal ini adalah kenikmatan dalam melakukan hubungan badan.

1 komentar:

  1. Iron Blade Tinting
    Titanium ecm titanium Rod. This iron-blade razor is crafted in the traditional Chinese ford edge titanium 2021 shape. The metal-rushed metal frame, made of titanium oxide, is made damascus titanium of zinc head titanium tennis racket and titanium nipple rings

    BalasHapus